Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab dan mempunyai norma dan etika yang tinggi. Bahkan bangsa ini termasuk ke dalam katagori bangsa yang mempunyai peradaban tinggi, terlihat dari muamalah yang dilakukan masyarakatnya yang mempunyai tradisi dan kebudayaan daerah yang berbeda-beda. Mereka mampu hidup rukun, damai, penuh rasa saling menghargai dan toleransi.
Namun dibalik itu, harus jujur kita akui bahwa bangsa Indonesia termasuk kategori bangsa yang memiliki kecakapan luarbiasa untuk melupakan hal-hal yang sebenarnya sangat signifikan mempengaruhi kehidupan kita. Orang menyebut kita bangsa yang mengalami amnesia dengan stadium yang sangat merisaukan. Kalau harus diukur dengan bentangan angka-angka, maka sudah tak berbilang berapa jumlah peristiwa bersejarah lalu-lalang di hadapan kita begitu saja. Peristiwa yang membanggakan atau peristiwa tragis yang meluluhlantakkan perikehidupan manusia. Kini mari bersikap jujur, benarkah peristiwa-peristiwa ini telah menanam kesan yang kuat dalam diri dan hati sehingga mampu mengubah prilaku buruk kita?
Kalau terjadi peristiwa dan tragedi alam, seperti bencana alam Tsunami di Aceh dan gempa bumi di Balakot dan Mudzafarabad bisa jadi kita akan berkilah, itu semata kodrat dan takdir Allah. Tetapi bagaimana dengan tindakan-tindakan destruktif akibat negative behavior (Su-ul Khuluq) yang dilakukan sebagian anak bangsa. Kini, pilar-pilar demokrasi, politik, hukum serta sosial akan segera runtuh karena kian derasnya tindak pidana korupsi yang dilakukan secara terang-benderang. Tindakan korupsi ini, begitu kuat tertanam, sehingga untuk --jangankan memberantasnya-- mencegah pun akan kesulitan dilakukan oleh siapa pun, apalagi kalau kita hanya berpangku tangan dan cuma mengandalkan tangan-tangan pemerintahan.
Lantas, alat penakut semacam apa yang bisa membuat para koruptor jera? Rasanya akan sulit menemukan alat paling tepat untuk mengembalikan para koruptor ke jalan yang benar. Sebab, sedari awal Baginda Rasul sudah mewanti-wanti umatnya soal bahaya korupsi bagi tegaknya pilar-pilar kehidupan. Dari saking bahayanya, Rasulullah mengancam para koruptor --salah satu bentuk tindakannya adalah menyuap dan menerima suap-- ini dengan jilatan api neraka. Ar-Roosyi Wal Murtasyii Finnaar; pemberi suap dan penerima suap sama-sama di neraka.
Kalau neraka saja, bukan alat penakut buat mereka, lantas alat apa yang pantas kita siapkan? Rasanya sulit menemukan jalan paling tepat kecuali kita berharap lahirnya kecerdasan spiritual bagi bangsa tercinta kita.
Asal muasal tindakan korupsi sebenarnya berawal dari rasa iri, dengki, dan hasad terhadap sesama manusia serta adanya rasa hubud dunya (cinta dunia). Seorang pendengki tidak akan bisa hidup tenang kalau menyaksikan tetangganya bergelimang karunia. Hitungan detik dalam hidupnya, hanya memikirkan tetangganya dengan hati yang mendongkol, sementara tetangga yang menjadi objek sifat irinya dapat tidur nyenyak. Masih bagus kalau dia berharap nikmat serupa tanpa mengusik ketenangan tetangganya. Bila sifat dengki, iri, hasad dan hubud dunya sudah jauh merasuk ke dalam jiwa, maka harapannya cuma satu; bagaimana caranya nikmat itu bisa hilang atau tetangganya pergi jauh dari lingkungannya. Kalau rasa iri begitu dalam menghunjam dalam dirinya, maka ia akan mengambil cara apa pun agar bisa memperoleh kakayaan. Maka lahirlah tindakan suap, sogok, dan akhirnya melakukan tindak korupsi.
Pantaslah kalau Al-Quran menyebut perbuatan korupsi ini sebagai al-fasad (yang merusak dan menghancurkan), yang layak dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya; seperti dihukum mati, disalib, dipotong tangan dan kakinya dengan timbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 33-34:
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan (al-fasad) di muka bumi, hanyalah mereka dihukum mati atau disalib, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat nanti mereka memperoleh siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang."
Adalah wajar dan sah-sah saja apabila setiap manusia (apa pun posisi, jabatan, pekerjaan, dan keahliannya) mencintai harta. Ini karena ia merupakan hal yang bersifat fitrah dan naluriah, bahkan menjadi sunnatullah dalam kehidupan manusia, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 14:
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan mewah), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik."
Akan tetapi, hal tersebut akan menjadi sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, apabila berubah menjadi hubbud dunya (kecintaan yang berlebih-lebihan kepada harta dunia), yang menjadikan dunia sebagai tujuan akhir dan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkannya. Rasulullah SAW menyebutkan hubbud dunya itu sebagai fitnah terbesar bagi umatnya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Beliau bersabda: "Setiap umat memiliki fitnah dan ujian, dan fitnah terbesar bagi umatku adalah harta dunia."
Jika tidak dikendalikan dengan keimanan yang kuat, hubbud dunya ini akan selalu menimpa pada setiap orang, karena memang dunia itu adalah sesuatu yang indah, lezat, dan menggiurkan. Dalam hadits lain riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda pula: "Sesungguhnya harta dunia ini adalah ibarat tanaman yang hijau (yang sangat menarik) dan terasa manis. Harta dunia akan menjadi sebaik-baiknya sahabat bagi kehidupan seorang Muslim, jika mendapatkannya dengan cara yang benar dan memanfaatkannya dengan cara yang benar pula, seperti untuk menegakkan agama Allah, menolong dan membantu anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Dan barangsiapa yang mendapatkannya dengan cara yang tidak benar, maka ibarat orang yang makan tetapi tidak pernah merasa kenyang, dan kelak akan menjadi saksi pada hari kiamat (yang memberatkan)."
Banyaknya kalangan yang jatuh dan bertekuk lutut pada pelukan hubbud dunya, di samping karena indah, manis, dan lezatnya, juga karena ada anggapan bahwa fitnah dan ujian itu hanyalah dengan sesuatu yang dianggap menyakitkan, seperti kelaparan, kemiskinan, kekurangan dan menderita sakit. Sedangkan, pangkat, jabatan, kedudukan harta, ilmu pengetahuan, kesehatan, dan popularitas bukan dianggap ujian dan cobaan, tetapi adalah semata-mata kenikmatan dan karunia. Oleh karena itu banyak orang yang tidak hati-hati ketika mendapatkannya, bahkan cenderung lupa daratan. Padahal Allah SWT sudah mengingatkan hal ini dengan firman-Nya pada al-Qur’an Surat Al-Anbiya ayat 35:
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan."
Ketika mengomentari ayat tersebut (QS Al Anbiya: 35), Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Dzilalil Qur'an, menyatakan adalah tidak perlu penjelasan yang rinci jika fitnah dan ujian dalam bentuk hal-hal yang menyakitkan, karena hampir setiap orang pasti memahami dan menyadarinya. Tetapi, terhadap bentuk ujian dengan hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan perlu terus menerus dikumandangkan dan disosialisasikan, karena banyak orang yang tidak menyadarinya. Banyak orang yang kufrun ni'mah (tidak memanfaatkan anugerah Allah untuk kemaslahatan bersama) dan kemudian memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri. Akibatnya, orang tersebut menderita selama-lamanya (di dunia maupun di akhirat), walaupun pada mulanya seolah-olah mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan.
Kapankah sifat iri, dengki, hasad, hubud dunya mengantarkan seseorang kepada tindakan durjana ini? Kalau rasa malu sudah merasa malu tinggal dalam diri seseorang yang memiliki sifat-sifat rendah tersebut. Ia sudah tidak mamiliki rasa malu untuk berbuat apa saja asal harapannya tercapai. Kalau rasa malu sudah hilang tak tersisa, maka semua jalan yang telah disyariatkan agama pun akan ia langgar. Hatinya tak akan pernah luluh meski berpanjang-pancang tiang firman Allah dihunjamkan ke hatinya. Kalau rasa malu sudah hilang tandas, maka Tuhan juga akan dengan cepat ia tanggalkan. Semua kisi-kisi hatinya dipenuhi kegandrungan terhadap dunia, harta didapat dengan cara-cara yang tidak halal. Ia berani menentang Tuhan, seakan-akan Dia tidak pernah ada. Jangan merasa malu terhadap Tuhan, Dzat yang dia tak mampu mencerna kehadiran-Nya, terhadap keluarganya pun ia tak akan sanggup mengundang rasa malu bertengger di hatinya.
Di sinilah, ketika alat penakut sudah sulit kita temukan, mendatangkan rasa malu menjadi sebuah awal yang bagus untuk menghindarkan seseorang dari tindak pidana korupsi. Al-Hayaa-u Minal Iman; (Malu sebagian dari iman). Bagaimana konsep malu menurut versi Rasulullah? "Orang yang ingin malu dengan sebenar-benarnya di hadapan Allah SWT, hendaklah menjaga pikiran dan hatinya. Hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang dimakannya. Hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur."
Para cerdik pandai selalu mengingatkan kita untuk mampu menjaga rasa malu agar tetap hidup dalam hati kita dengan cara selalu berlapang dada untuk berteman dengan orang yang terbiasa dipermalukan. Seorang sufi besar, Yahya Bin Mu'adz pernah menyitir rasa malu ini dengan begitu indahnya. Katanya, "Bagi manusia yang malu di hadapan Allah SWT ketika taat, maka Allah akan malu ketika ia berbuat dosa."
Mengundang rasa malu yang sudah terlanjur jauh meninggalkan kita, memang tidaklah mudah. Betapa dahsyatnya rasa malu ini, sampai-sampai Tuhan Yang Maha Perkasa sekalipun memiliki sifat tersebut. Menurut Muadz Bin Jabal ra, sebuah Hadits Qudsi meriwayatkan soal rasa malu Tuhan ini. "Hamba-Ku telah berlaku tidak adil terhadap diri-Ku. Ia meminta kepada-Ku, tetapi Aku malu untuk tidak mengabulkan keinginannya. Padahal ia tidak pernah malu bermaksiat kepada-Ku."
Sifat malu sesungguhnya merupakan kunci paling fundamental untuk menakar tingkat kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya. Bila seseorang sudah tidak punya rasa malu, maka ia akan berbuat apa saja. Serba tegas untuk menindas, serba sampai hati memeras bawahannya, serba mungkin memindahkan angka-angka kemiskinan menjadi lembar-lembar dolar ke dalam rekening pribadi.
Tak adakah rasa malu kepada Allah SWT saat kita sodorkan lembaran-lembaran mata uang kepada istri kita untuk dibelikan bahan makanan, tetapi uang tersebut hasil memeras atau hasil korupsi yang akan segera menjadi darah daging dalam tubuh anak-anak kita? Masihkah tersisa rasa malu terhadap Allah SWT ketika makanan sudah tersaji, tetapi itu jelas-jelas hak orang lain? Di tengah-tengah kita, rasa malu tak tersisa lagi. Kalau masih sadar, malu rasanya kita mengundang kembali rasa malu untuk secara suka rela bersemayam dalam hati kita karena ia terlanjur malu menghuni rumah yang menolak kehadiran rasa malu. "Allah malu menyerahkan Buku Induk Akhirat kepada hamba-Nya secara berhadap-hadapan karena isinya cuma daftar dosa-dosa," kata Imam al-Qusyairy an-Naishabury dalam bukunya Ar-Risalah al-Qusyairiyah mengutip sebuah Hadits Qudsi.
Apa keuntungan yang bakal kita dapat kalau kita meneguhkan rasa malu? Abu Sulaiman Ad-Darany berkata, "Allah SWT berfirman: Wahai hamba-Ku, selama engkau malu di hadapan-Ku, Aku akan membuat manusia lupa kekuranganmu. Aku akan membuat muka bumi lupa akan dosa-dosamu. Aku akan menghapuskan dosa-dosamu dari Buku Catatan Induk dan Aku tidak akan meneliti amalanmu pada Hari Kebangkitan."
Para koruptor adalah saudara kita juga. Mari kita ingatkan mereka bahwa Tuhan Maha Melihat. (Abdur-Rahim Yunus, Pesantren Virtual)