Partai-partai politik yang besar dan kuat merasa berhak mendikte SBY untuk menentukan kabinetnya. Kekuatan SBY sebagai presiden pilihan rakyat benar-benar digerogoti partai, dan tragisnya SBY membiarkannya. Padahal, kalau SBY mau, dia bisa menggunakan hak-hak prerogatifnya dengan mengabaikan kemauan orang-orang parpol di Senayan. Ini karena di belakang SBY --rakyat yang memilihnya, 60 persen lebih dari suara pemilih Indonesia-- jauh lebih kuat ketimbang mereka yang ada di Senayan.
Itulah gambaran sepintas dilema SBY. Alih-alih SBY menggunakan kekuatannya untuk menentukan kabinet, yang terjadi SBY ''tengok sana sini'' minta persetujuan parpol dalam memilih para menterinya. Kondisi semacam itu jelas menyimpang --bahkan bertentangan-- dengan hakikat kabinet sistem presidensil yang dianut Indonesia. Karena itu, SBY sebaiknya memilih menteri-menterinya secara mandiri, tak perlu lobi sana-sini dengan tokoh-tokoh parpol. Sebaliknya, tokoh-tokoh parpol juga harus legowo dan tidak mengintervensi SBY dalam penentuan menteri-menteri kabinetnya. Biarkan presiden yang dipilih rakyat menentukan langkah-langkah terbaiknya untuk menjalankan roda pemerintahan.
Menghilangkan mitos
Di zaman Orde Baru, meski presiden tidak dipilih rakyat, tapi dia mampu memanfaatkan kekuasaannya --terutama untuk menyusun kabinet tanpa intervensi parpol. Suharto, misalnya, dalam beberapa periode pemerintahannya, mampu menyusun kabinet yang terbebas dari intervensi parpol. Suharto dikenal pandai memilih para pembantunya, yang sebagian besar para teknokrat dan ilmuwan. Suharto benar-benar mampu memanfaatkan pemerintahan ''sistem presidensil'', dan karenanya dia punya posisi yang kuat.
Ironisnya, setelah era reformasi --di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat-- SBY justru ''sungkan'' memanfaatkan pembentukan kabinet dengan pola-pola pemerintahan sistem presidensil. Sebaliknya, SBY malah terjebak pada pola-pola pembentukan kabinet sistem parlementer. SBY telah termakan mitos yang dihembuskan tokoh-tokoh parpol bahwa tanpa persetujuan partai dalam menyusun kabinet, maka roda pemerintahan akan terseok-seok. Celakanya, mitos itu termakan SBY mentah-mentah.
Mengapa hal itu terjadi? Orang menduga bahwa hal itu menunjukkan ''kelemahan'' kepemimpinan SBY. Banyak pihak menyayangkan sikap SBY yang ''terlalu baik'' kepada parpol sehingga melupakan hakikat pemerintahannya yang presidensil. SBY tampaknya ingin menjadi ''figur kesayangan semua orang'' sehingga dia harus menjaga citranya sebagai tokoh yang tidak mau konflik dan selalu mengetengahkan musyawarah.
Kondisi tersebut oke-oke saja jika negara dalam keadaan normal. Tapi kalau melihat Indonesia yang berada dalam kondisi ''SOS'' secara ekonomi dan sosial seperti sekarang, apakah gaya kepemimpinan yang ingin menyenangkan semua orang itu cukup efektif?
Di situlah ujian untuk pemimpin besar. Seorang pemimpin besar harus berani menentukan kebijakan yang kontroversial sekalipun, asalkan menurut keyakinan dan perhitungannya benar. Lepas dari benar dan salahnya dalam menentukan kebijakan, Suharto dan Sukarno harus diakui sebagai pemimpin besar karena keduanya bisa memutuskan kebijakan berdasarkan hati nuraninya meski kemudian kebijakan itu kontroversial.
Sukarno pernah melawan Amerika dan Suharto pernah melawan IGGI. Tapi, bagaimana SBY? Hanya menghadapi tokoh-tokoh parpol yang ingin kepentingannya dipenuhi, tampaknya dia grogi. Apalagi mau melawan Amerika dan negara-negara donor yang suka mendiktenya. SBY tampaknya ingin tetap menjaga citra baiknya di mata negara-negara donor di satu sisi, tapi di sisi lain, dia juga ingin tetap menjaga citra baiknya di kalangan politisi Senayan dan menjaga citra baiknya di mata rakyat.
Keinginan menjadi ''anak manis'' dari semua orang inilah yang menyebabkan SBY terjebak pada ''putaran'' yang tak tentu arahnya. Dia ingin berbaikan dengan negara-negara donor dengan mengikuti sarannya --antara lain-- memangkas subsidi harga BBM (baca: agar Indonesia bisa membayar utang kepada negara-negara donor).
Untuk menjaga citranya di mata Senayan, SBY pun minta persetujuan DPR agar seakan-akan keputusan menaikkan harga BBM sepenuhnya ditentukan secara demokratis. Uniknya, ketika merasa kebijakan pangkas subsidi BBM itu akan menyengsarakan rakyat, SBY pun ''bagi-bagi uang'' kepada rakyat miskin dengan mengusung program bantuan langsung tunai (BLT). Uang ini untuk mengompensasi kenaikan harga BBM. Dengan demikian citra SBY yang menyayangi rakyat kecil tetap terpelihara.
Sayangnya, upaya untuk tampil sebagai ''anak manis'' tersebut gagal total. SBY justru mendapat kecaman rakyat dan DPR. SBY lupa bahwa persetujuan di DPR (untuk membuktikan bahwa dia seorang demokrat sejati) didapat lewat voting yang menyakitkan. Sementara di mata rakyat, bagi-bagi uang Rp 100 ribu er bulan itu ternyata tak imbang dengan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup setelah dicabutnya subsidi harga BBM. Kini, yang memuji SBY hanyalah negara-negara donor melalui koran-koran yang terbit di New York, London, atau Tokyo. Di dalam negeri, yang terjadi sebaliknya.
Kalau mau jujur, kita tanya kepada SBY: pilih mana, dipuja oleh orang asing tapi dibenci rakyat sendiri, atau dibenci orang asing tapi dipuja rakyat? Mestinya SBY sebagai presiden pilihan rakyat, harus bersikap pro-rakyat. Bukan pro-asing!
Wakaf menteri
Saat ini, SBY kembali dihadapkan pada dilema dalam perombakan kabinet akibat mitos-mitos yang dipercayainya tentang peran parpol. Tragisnya lagi, dalam kondisi yang carut marut itu, beban SBY bertambah berat karena adanya manuver-manuver para politisi yang tak punya visi selain kecenderungan ego kekuasaannya.
Ada parpol yang saat ini kasak-kusuk ingin mendapat jatah menteri separuh dari jumlah kabinet karena merasa dia partai terbesar di DPR. Ada tokoh parpol yang minta SBY mencopot menteri-menteri dari partainya karena dinilai mereka tidak punya kontribusi terhadap partai selama berada di kabinet. Ada pula parpol yang menyorong-nyorongkan kadernya agar dipilih SBY untuk duduk di kabinet, padahal sang kader tidak berkualitas. Ada lagi yang mengancam akan mencabut dukungan terhadap SBY jika kader-kadernya di kabinet dicopot.
Fenomena tersebut sangat memalukan dalam hidup bernegara. Mestinya, partai tidak perlu minta jatah sekian menteri dan menyodor-nyodorkan kadernya untuk duduk di kabinet. Biarkan SBY memilih orang-orang terbaik untuk kabinetnya, dari mana pun asal mereka. Kader partai yang kebetulan dipilih SBY untuk duduk di kabinet pun, sebaiknya menetralkan diri dari kepentingan partai. Lalu, partai hendaknya mewakafkan kadernya yang terpilih jadi menteri secara sadar dan ikhlas utuk kepentingan negara. (Oleh Eggi Sudjana, Mantan Presiden Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, www.Republika.co.id).
Kasihan ya SBY, kayaknya bener tuh terperangkap Mitos
ReplyDelete