Thursday, November 24, 2005

Pulau Penyengat Nan Bersejarah


Pada awal abad ke-19, saat belahan bumi Nusantara yang lain masih belum mengerti aksara, pulau yang hanya seluas 240 hektar itu telah memiliki percetakan dan menerbitkan ratusan buku ilmiah dan keagamaan. Buku-buku yang ditulis di antaranya tentang perbintangan, obat-obatan, agama, dan tentang seks.

Itulah Pulau Penyengat, sebuah pulau kecil di Kepulauan Riau, yang pernah menjadi taman bagi para pujangga Melayu. Salah seorang penulis besar yang lahir dan berkarya di pulau itu adalah Raja Ali Haji (1809-1873).
Di Pulau Penyengat, sang Pujangga Kerajaan Riau-Lingga itu menemukan taman yang nyaman untuk berkarya sehingga melahirkan karya-karya besar yang sangat variatif, mulai dari karya sastra, keagamaan, filsafat, pemerintahan, sampai kebahasaan. Karya sastranya di antaranya Syair Siti Shianah, Syair Awai, dan Gurindam Dua Belas.

Karya Raja Ali Haji tentang Silsilah Melayu dan Bugis dan Tuhfat al-Nafis telah menempatkannya sebagai seorang sejarawan penting Melayu. Dalam kedua buku itu, sejarah Kerajaan Melayu diuraikannya secara gamblang.
Sebagai bahasawan, Raja Ali Haji telah melahirkan karya Bustan al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa. Kedua karya ini dinilai sebagai karya tulis yang pertama kali menjelaskan secara ilmiah tata bahasa Melayu sehingga menempatkan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara.

Sedangkan sebagai ulama Islam dan filosof, Raja Ali Haji bisa terbaca dari hampir semua karyanya yang selalu menempatkan ajaran dan pemikiran Islam sebagai rujukan utama. Atas jasa-jasanya bagi Melayu dan bangsa Indonesia, Raja Ali Haji akhirnya dinobatkan sebagai pahlawan nasional.

Kebesaran Pulau Penyengat sebagai taman para pujangga bukanlah karena ketokohan satu orang. Rakyat jelata, termasuk kaum perempuan, juga menerbitkan aneka tulisan. Misalnya, buku Perkawinan Penduduk Penyengat dikarang oleh seorang nelayan bernama Encik Abdullah pada tahun 1902. Pengarang dari kalangan rakyat jelata yang juga produktif, seorang perempuan bernama Khatijah Terung dengan salah satu karyanya berjudul Kumpulan Gunawan, menceritakan tentang hubungan seksual suami istri.

Kondusifnya iklim penulisan di Pulau Penyengat agaknya didorong oleh adanya percetakan, yaitu Mathba’atul Riauwiyah, yang telah beroperasi sejak tahun 1890-an. Pada era itu kesadaran intelektual penghuni pulau tersebut telah terorganisasi. Para intelektual, baik dari kalangan ningrat maupun rakyat jelata, telah mendirikan perkumpulan bernama Rusydiah Club.

Selain terkenal dengan kegiatan intelektualnya, pada masa lalu Pulau Penyengat juga terkenal sebagai basis perjuangan menentang penjajah. Selama berkecamuk peperangan antara Kerajaan Riau dan Belanda (1782-1794 M), Pulau Penyengat dijadikan kubu penting. Pada tahun 1900 Abdurrahman Muazamsah, Sultan Riau-Lingga yang terakhir, akhirnya tinggal di Pulau Penyengat. Pada masa itu kehidupan intelektual di Pulau Penyengat semakin tumbuh subur. Berbagai bangunan pemerintahan dan keagamaan didirikan.

Namun, saat mengelilingi Pulau Penyengat kini, kejayaan masa silam itu hanya bisa terlukiskan samar-samar. Bekas percetakan Mathba’atul Riauwiyah dan gedung Rusydiah Club hanya tersisa fondasi yang telah dipenuhi semak belukar. Bahkan, istana Abdurrahman Muazamsah hampir tak ada lagi bekas-bekasnya. Di Balai Maklumat Pulau Penyengat, 250 naskah karya putra dan putri Pulau Penyengat ratusan tahun lalu itu masih tersimpan rapi. "Tetapi, kehidupan intelektual di Pulau Penyengat kini telah mati. Tak ada lagi karya baru yang lahir di pulau ini," kata Raja Malik, pengelola Balai Maklumat yang masih keturunan Raja Ali Haji.
Menurut Raja Malik, kemandekan intelektual di Pulau Penyengat sebenarnya terjadi setelah Sultan Abdurrahman Muazamsah meninggalkan Penyengat menuju Singapura tahun 911. Raja terakhir Kerajaan Riau-Lingga itu pergi karena tidak mau menandatangani kontrak politik yang disodorkan oleh Belanda. Kepergian sang raja diikuti oleh sebagian besar orang Penyengat, termasuk bangsawan dan pengarang.

Pada tahun 1930-an kehidupan intelektual di Pulau Penyengat mulai menggeliat lagi. Hal itu ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan agama Madrasatul Mualimin.
Namun, geliat kehidupan intelektual itu kembali terhenti setelah masuknya Jepang. Dan, semenjak kemerdekaan Republik Indonesia, nama Pulau Penyengat kian tenggelam.
"Sastrawan-sastrawan besar dari Kepulauan Riau, seperti Sutarji Cholzum Bachri, kebanyakan memilih keluar daerah kami karena memang di sini tidak prospektif untuk mengembangkan diri," kata Hoesnizar Hood, Ketua Dewan Kesenian Kepulauan Riau. Kini, kebesaran Pulau Penyengat sebagai taman para pujangga itu hanya tinggal cerita. (Ahmad Arif, Kompas, Januari 2005)

No comments:

Post a Comment