Thursday, November 24, 2005

Tanjung Pinang, Jadi Kota Wisata Maksiat?

Tanjung Pinang, kota yang bakal menjadi ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, dewasa ini selalu marak dikunjungi wisatawan mancanegara setiap tahunnya. Wisman yang menjadi pelanggan tetap wilayah ini rata-rata berasal dari negeri tetangga, Malaysia dan Singapura. Bagi wisman yang berwarna kulit sama dan masih satu bangsa dengan Indonesia ini, berada di Tanjung Pinang berarti sebuah kebebasan barang sejenak lari dari segala aturan yang mengikat di negara asalnya.

"Di sini mereka bebas meludah dan buang sampah di sembarang tempat, merokok tanpa takut-takut atau harus cari-cari tempat tersembunyi. Di tempat yang dekat dalam jangkauan dan tanpa banyak biaya, mereka melepas ketegangan bebas dari aturan," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tanjung Pinang Said Parman, Senin (7/3).

Wisatawan asal Singapura dan Malaysia banyak berdatangan pada akhir pekan, antara Jumat sore hingga Minggu sore. Mereka memadati hotel- hotel sederhana hingga mewah. Perjudian dan daya tarik perempuan dikabarkan menjadi sajian utama, meski Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tidak eksplisit mengakuinya.

Menuju Tanjung Pinang dari dua negara itu amat mudah dan murah, tinggal memakai kapal- kapal feri saja. Kenyamanan kapal penumpang ber-AC ini cukup menyejukkan untuk sekitar satu jam perjalanan antara Singapura menuju Tanjung Pinang. Jarak yang kurang lebih sama antara Johor-Tanjung Pinang. Untuk biaya perjalanan, dibutuhkan ongkos Rp 140.000 pergi-pulang. Mereka hanya perlu paspor untuk memasuki Tanjung Pinang tanpa harus mengurus visa.

Kasat mata, selain bersenang-senang di hotel dan sejumlah tempat hiburan, mereka biasanya menyerbu pusat-pusat makanan. Kawasan yang selalu ramai dipadati pengunjung adalah bursa makanan Akau di kawasan Potong Lembu, Kota Tanjung Pinang.

Penggerak ekonomi

Dijelaskan, kedatangan para wisman ini memang memberikan keuntungan bagi pemerintah setempat. Mereka adalah sumber pendapatan, tak hanya dari pungutan pajak tetapi juga menjadi salah satu faktor penting penggerak perekonomian rakyat. Namun, Said mengakui bahwa Tanjung Pinang hanya sebagai tempat untuk berbebas-bebas tidak selayaknya terus dipertahankan sebagai image daerah.

Daya tarik berupa "kebebasan" memang menjadi faktor penentu ramainya wisman mengunjungi Tanjung Pinang. Namun jika kemudian di tempat lain juga dapat ditemukan hal yang sama, bukan tidak mungkin kota pulau ini akan ditinggalkan. Hal ini mengemuka berdasarkan pengamatan perkembangan wisata sejenis di Kepulauan Riau, seperti di Kota Batam, Karimun, dan beberapa kota pulau lainnya.

Di samping itu, Said mencontohkan, jika terjadi sedikit ketegangan saja antara Pemerintah Indonesia dan dua negara tetangga tersebut, jumlah wisman yang datang langsung menyusut. Mereka ketakutan ada ancaman terhadap keselamatan diri dan acara bersenang-senang akan terusik dengan razia maupun penertiban dari pemerintah setempat.

Saat isu tentang pemberantasan tenaga kerja ilegal bergaung keras seperti sekarang ini, wisman pun jarang ditemui di Tanjung Pinang. Menurut data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Tanjung Pinang, bulan Januari lalu turis asing yang datang ke tempat ini hanya 10.205. Padahal bulan yang sama tahun lalu, kedatangan turis asing mencapai 17.872.

Keamanan dalam negeri yang sering terguncang beberapa tahun terakhir juga memengaruhi tingkat kunjungan wisatawan asing ke Tanjung Pinang. Dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan wisman sekitar 20 persen hingga 30 persen. Terakhir tahun 2004 lalu, terdapat 174.038 wisatawan atau menurun sekitar 30.000-an wisatawan dari tahun sebelumnya.

Banyak potensi

Tanjung Pinang hanya sebagai tempat bersenang-senang tanpa ada sisi lain yang lebih menonjol, memang terasa ironis sekali. Padahal, kota pulau ini seperti disaksikan Kompas, memiliki banyak potensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. Keelokan alamnya yang merupakan pulau tersendiri dan dikelilingi pulau-pulau kecil lainnya merupakan salah satu daya tarik yang sama sekali belum terasah. Jalanan di sepanjang kota berkelok mengikuti alur pulau yang berbukit- bukit, sementara di sisi yang lain laut biru kehijauan terpampang luas memikat hati.

Di sisi lain, Tanjung Pinang berdekatan dengan Pulau Penyengat yang disebut sebagai Bunda Budaya Melayu. Perpaduan alam dan kekayaan budaya Melayu inilah yang sebenarnya mampu menjadi identitas Tanjung Pinang. Identitas yang menjadi kebanggaan daerah sekaligus sebagai daya tarik wisata yang mampu bersaing dengan daerah lain.

"Masyarakat kita sendiri sudah tidak kenal lagi budaya Melayu. Dari bahasanya saja, generasi muda Tanjung Pinang tak lagi kental logat Melayunya. Pakaian, agama, dan apalagi budaya. Mungkin bagi yang pertama kali ke sini akan terkejut melihat gaya-gaya anak muda yang tak kalah dengan sebayanya di Jakarta sana," kata Raja Malik Hasrizal, seorang pemerhati budaya Melayu yang menetap di Pulau Penyengat.

Pulau Penyengat menjadi pusat kerajaan Riau Lingga pada abad ke-19. kekuasaannya meliputi sebagian Malaka, Singapura, dan seluruh Riau wilayah daratan, serta kepulauan.

Menurut Raja Malik, tahun 1880-an di pulau ini didirikan Rusydiah Club, yaitu perkumpulan cendekiawan dari seluruh Riau. Mereka menjadi pemantau pergerakan politik dan juga menghasilkan karya-karya sastra maupun kebudayaan lainnya. Salah satu pujangga yang terkenal adalah Raja Ali Haji dengan karya Gurindam XII.

Tahun 1911, para cendekiawan dan pejabat kerajaan tercerai-berai meninggalkan Penyengat. Mereka tidak mau tunduk kepada penjajah, dan memilih pergi. Dua tahun kemudian, Belanda menghapus Kerajaan Riau Lingga dari segala urusan administrasi pemerintahannya. Sejak itu, Pulau Penyengat kian terasing dan budaya Melayu pun putus perkembangannya.

Ditegaskannya, kondisi Tanjung Pinang saat ini adalah sebuah penurunan moral yang sangat tajam. Bobroknya moral akibat terkikisnya budaya menyebabkan masyarakat hancur.

Raja Malik mewakili masyarakat setempat mengungkapkan perlunya pemerintah mengatasi permasalahan ini. "Jangan sampai budaya kita musnah, padahal penerusnya sebenarnya masih ada," katanya. (Kompas Cyber Media, 8 Maret 2005)

No comments:

Post a Comment