Tuesday, November 29, 2005

Rasa Malu, Bagian dari Iman

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab dan mempunyai norma dan etika yang tinggi. Bahkan bangsa ini termasuk ke dalam katagori bangsa yang mempunyai peradaban tinggi, terlihat dari muamalah yang dilakukan masyarakatnya yang mempunyai tradisi dan kebudayaan daerah yang berbeda-beda. Mereka mampu hidup rukun, damai, penuh rasa saling menghargai dan toleransi.

Namun dibalik itu, harus jujur kita akui bahwa bangsa Indonesia termasuk kategori bangsa yang memiliki kecakapan luarbiasa untuk melupakan hal-hal yang sebenarnya sangat signifikan mempengaruhi kehidupan kita. Orang menyebut kita bangsa yang mengalami amnesia dengan stadium yang sangat merisaukan. Kalau harus diukur dengan bentangan angka-angka, maka sudah tak berbilang berapa jumlah peristiwa bersejarah lalu-lalang di hadapan kita begitu saja. Peristiwa yang membanggakan atau peristiwa tragis yang meluluhlantakkan perikehidupan manusia. Kini mari bersikap jujur, benarkah peristiwa-peristiwa ini telah menanam kesan yang kuat dalam diri dan hati sehingga mampu mengubah prilaku buruk kita?



Kalau terjadi peristiwa dan tragedi alam, seperti bencana alam Tsunami di Aceh dan gempa bumi di Balakot dan Mudzafarabad bisa jadi kita akan berkilah, itu semata kodrat dan takdir Allah. Tetapi bagaimana dengan tindakan-tindakan destruktif akibat negative behavior (Su-ul Khuluq) yang dilakukan sebagian anak bangsa. Kini, pilar-pilar demokrasi, politik, hukum serta sosial akan segera runtuh karena kian derasnya tindak pidana korupsi yang dilakukan secara terang-benderang. Tindakan korupsi ini, begitu kuat tertanam, sehingga untuk --jangankan memberantasnya-- mencegah pun akan kesulitan dilakukan oleh siapa pun, apalagi kalau kita hanya berpangku tangan dan cuma mengandalkan tangan-tangan pemerintahan.

Lantas, alat penakut semacam apa yang bisa membuat para koruptor jera? Rasanya akan sulit menemukan alat paling tepat untuk mengembalikan para koruptor ke jalan yang benar. Sebab, sedari awal Baginda Rasul sudah mewanti-wanti umatnya soal bahaya korupsi bagi tegaknya pilar-pilar kehidupan. Dari saking bahayanya, Rasulullah mengancam para koruptor --salah satu bentuk tindakannya adalah menyuap dan menerima suap-- ini dengan jilatan api neraka. Ar-Roosyi Wal Murtasyii Finnaar; pemberi suap dan penerima suap sama-sama di neraka.

Kalau neraka saja, bukan alat penakut buat mereka, lantas alat apa yang pantas kita siapkan? Rasanya sulit menemukan jalan paling tepat kecuali kita berharap lahirnya kecerdasan spiritual bagi bangsa tercinta kita.

Asal muasal tindakan korupsi sebenarnya berawal dari rasa iri, dengki, dan hasad terhadap sesama manusia serta adanya rasa hubud dunya (cinta dunia). Seorang pendengki tidak akan bisa hidup tenang kalau menyaksikan tetangganya bergelimang karunia. Hitungan detik dalam hidupnya, hanya memikirkan tetangganya dengan hati yang mendongkol, sementara tetangga yang menjadi objek sifat irinya dapat tidur nyenyak. Masih bagus kalau dia berharap nikmat serupa tanpa mengusik ketenangan tetangganya. Bila sifat dengki, iri, hasad dan hubud dunya sudah jauh merasuk ke dalam jiwa, maka harapannya cuma satu; bagaimana caranya nikmat itu bisa hilang atau tetangganya pergi jauh dari lingkungannya. Kalau rasa iri begitu dalam menghunjam dalam dirinya, maka ia akan mengambil cara apa pun agar bisa memperoleh kakayaan. Maka lahirlah tindakan suap, sogok, dan akhirnya melakukan tindak korupsi.

Pantaslah kalau Al-Quran menyebut perbuatan korupsi ini sebagai al-fasad (yang merusak dan menghancurkan), yang layak dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya; seperti dihukum mati, disalib, dipotong tangan dan kakinya dengan timbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 33-34:
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan (al-fasad) di muka bumi, hanyalah mereka dihukum mati atau disalib, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat nanti mereka memperoleh siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang."

Adalah wajar dan sah-sah saja apabila setiap manusia (apa pun posisi, jabatan, pekerjaan, dan keahliannya) mencintai harta. Ini karena ia merupakan hal yang bersifat fitrah dan naluriah, bahkan menjadi sunnatullah dalam kehidupan manusia, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 14:
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan mewah), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik."

Akan tetapi, hal tersebut akan menjadi sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, apabila berubah menjadi hubbud dunya (kecintaan yang berlebih-lebihan kepada harta dunia), yang menjadikan dunia sebagai tujuan akhir dan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkannya. Rasulullah SAW menyebutkan hubbud dunya itu sebagai fitnah terbesar bagi umatnya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Beliau bersabda: "Setiap umat memiliki fitnah dan ujian, dan fitnah terbesar bagi umatku adalah harta dunia."


Jika tidak dikendalikan dengan keimanan yang kuat, hubbud dunya ini akan selalu menimpa pada setiap orang, karena memang dunia itu adalah sesuatu yang indah, lezat, dan menggiurkan. Dalam hadits lain riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda pula: "Sesungguhnya harta dunia ini adalah ibarat tanaman yang hijau (yang sangat menarik) dan terasa manis. Harta dunia akan menjadi sebaik-baiknya sahabat bagi kehidupan seorang Muslim, jika mendapatkannya dengan cara yang benar dan memanfaatkannya dengan cara yang benar pula, seperti untuk menegakkan agama Allah, menolong dan membantu anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Dan barangsiapa yang mendapatkannya dengan cara yang tidak benar, maka ibarat orang yang makan tetapi tidak pernah merasa kenyang, dan kelak akan menjadi saksi pada hari kiamat (yang memberatkan)."

Banyaknya kalangan yang jatuh dan bertekuk lutut pada pelukan hubbud dunya, di samping karena indah, manis, dan lezatnya, juga karena ada anggapan bahwa fitnah dan ujian itu hanyalah dengan sesuatu yang dianggap menyakitkan, seperti kelaparan, kemiskinan, kekurangan dan menderita sakit. Sedangkan, pangkat, jabatan, kedudukan harta, ilmu pengetahuan, kesehatan, dan popularitas bukan dianggap ujian dan cobaan, tetapi adalah semata-mata kenikmatan dan karunia. Oleh karena itu banyak orang yang tidak hati-hati ketika mendapatkannya, bahkan cenderung lupa daratan. Padahal Allah SWT sudah mengingatkan hal ini dengan firman-Nya pada al-Qur’an Surat Al-Anbiya ayat 35:

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan."

Ketika mengomentari ayat tersebut (QS Al Anbiya: 35), Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Dzilalil Qur'an, menyatakan adalah tidak perlu penjelasan yang rinci jika fitnah dan ujian dalam bentuk hal-hal yang menyakitkan, karena hampir setiap orang pasti memahami dan menyadarinya. Tetapi, terhadap bentuk ujian dengan hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan perlu terus menerus dikumandangkan dan disosialisasikan, karena banyak orang yang tidak menyadarinya. Banyak orang yang kufrun ni'mah (tidak memanfaatkan anugerah Allah untuk kemaslahatan bersama) dan kemudian memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri. Akibatnya, orang tersebut menderita selama-lamanya (di dunia maupun di akhirat), walaupun pada mulanya seolah-olah mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan.

Kapankah sifat iri, dengki, hasad, hubud dunya mengantarkan seseorang kepada tindakan durjana ini? Kalau rasa malu sudah merasa malu tinggal dalam diri seseorang yang memiliki sifat-sifat rendah tersebut. Ia sudah tidak mamiliki rasa malu untuk berbuat apa saja asal harapannya tercapai. Kalau rasa malu sudah hilang tak tersisa, maka semua jalan yang telah disyariatkan agama pun akan ia langgar. Hatinya tak akan pernah luluh meski berpanjang-pancang tiang firman Allah dihunjamkan ke hatinya. Kalau rasa malu sudah hilang tandas, maka Tuhan juga akan dengan cepat ia tanggalkan. Semua kisi-kisi hatinya dipenuhi kegandrungan terhadap dunia, harta didapat dengan cara-cara yang tidak halal. Ia berani menentang Tuhan, seakan-akan Dia tidak pernah ada. Jangan merasa malu terhadap Tuhan, Dzat yang dia tak mampu mencerna kehadiran-Nya, terhadap keluarganya pun ia tak akan sanggup mengundang rasa malu bertengger di hatinya.

Di sinilah, ketika alat penakut sudah sulit kita temukan, mendatangkan rasa malu menjadi sebuah awal yang bagus untuk menghindarkan seseorang dari tindak pidana korupsi. Al-Hayaa-u Minal Iman; (Malu sebagian dari iman). Bagaimana konsep malu menurut versi Rasulullah? "Orang yang ingin malu dengan sebenar-benarnya di hadapan Allah SWT, hendaklah menjaga pikiran dan hatinya. Hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang dimakannya. Hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur."

Para cerdik pandai selalu mengingatkan kita untuk mampu menjaga rasa malu agar tetap hidup dalam hati kita dengan cara selalu berlapang dada untuk berteman dengan orang yang terbiasa dipermalukan. Seorang sufi besar, Yahya Bin Mu'adz pernah menyitir rasa malu ini dengan begitu indahnya. Katanya, "Bagi manusia yang malu di hadapan Allah SWT ketika taat, maka Allah akan malu ketika ia berbuat dosa."

Mengundang rasa malu yang sudah terlanjur jauh meninggalkan kita, memang tidaklah mudah. Betapa dahsyatnya rasa malu ini, sampai-sampai Tuhan Yang Maha Perkasa sekalipun memiliki sifat tersebut. Menurut Muadz Bin Jabal ra, sebuah Hadits Qudsi meriwayatkan soal rasa malu Tuhan ini. "Hamba-Ku telah berlaku tidak adil terhadap diri-Ku. Ia meminta kepada-Ku, tetapi Aku malu untuk tidak mengabulkan keinginannya. Padahal ia tidak pernah malu bermaksiat kepada-Ku."

Sifat malu sesungguhnya merupakan kunci paling fundamental untuk menakar tingkat kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya. Bila seseorang sudah tidak punya rasa malu, maka ia akan berbuat apa saja. Serba tegas untuk menindas, serba sampai hati memeras bawahannya, serba mungkin memindahkan angka-angka kemiskinan menjadi lembar-lembar dolar ke dalam rekening pribadi.

Tak adakah rasa malu kepada Allah SWT saat kita sodorkan lembaran-lembaran mata uang kepada istri kita untuk dibelikan bahan makanan, tetapi uang tersebut hasil memeras atau hasil korupsi yang akan segera menjadi darah daging dalam tubuh anak-anak kita? Masihkah tersisa rasa malu terhadap Allah SWT ketika makanan sudah tersaji, tetapi itu jelas-jelas hak orang lain? Di tengah-tengah kita, rasa malu tak tersisa lagi. Kalau masih sadar, malu rasanya kita mengundang kembali rasa malu untuk secara suka rela bersemayam dalam hati kita karena ia terlanjur malu menghuni rumah yang menolak kehadiran rasa malu. "Allah malu menyerahkan Buku Induk Akhirat kepada hamba-Nya secara berhadap-hadapan karena isinya cuma daftar dosa-dosa," kata Imam al-Qusyairy an-Naishabury dalam bukunya Ar-Risalah al-Qusyairiyah mengutip sebuah Hadits Qudsi.

Apa keuntungan yang bakal kita dapat kalau kita meneguhkan rasa malu? Abu Sulaiman Ad-Darany berkata, "Allah SWT berfirman: Wahai hamba-Ku, selama engkau malu di hadapan-Ku, Aku akan membuat manusia lupa kekuranganmu. Aku akan membuat muka bumi lupa akan dosa-dosamu. Aku akan menghapuskan dosa-dosamu dari Buku Catatan Induk dan Aku tidak akan meneliti amalanmu pada Hari Kebangkitan."

Para koruptor adalah saudara kita juga. Mari kita ingatkan mereka bahwa Tuhan Maha Melihat. (Abdur-Rahim Yunus, Pesantren Virtual)

Saturday, November 26, 2005

12 AZAB BAGI MEREKA YANG MENINGGALKAN SHOLAT


Dalam sebuah hadis menerangkan bahwa Rasulullah S.A.W telah bersabda : "Barangsiapa yang mengabaikan sholat secara berjemaah maka Allah S.W.T akan memberikan 12 azab ke atasnya.

Tiga darinya akan dirasakannya ketika di dunia ini :
1. Allah S.W.T akan menghilangkan berkat dari usahanya dan begitu juga terhadap rezekinya.
2. Allah S.W.T mencabut nur orang-orang mukmin daripadanya.
3. Dia akan dibenci oleh orang-orang yang beriman.

Tiga macam siksa adalah ketika dia ajalnya tiba (mati) :
4. Ruh dicabut ketika dia di dalam keadaan yang sangat haus walaupun ia telah meminum seluruh air laut.
5. Dia akan merasa yang amat pedih ketika ruh dicabut keluar.
6. Dia akan dirisaukan akan hilang imannya.

Tiga macam siksa yang akan dihadapinya ketika berada di dalam kubur, sbb :
7. Dia akan merasa susah terhadap pertanyaan malaikat mungkar dan nakir yang sangat menakutkan.
8. Kuburnya akan menjadi cukup gelap.
9. Kuburnya akan menghimpit sehingga semua tulang rusuknya berkumpul (seperti jari bertemu jari).

Tiga lagi azab nanti di hari kiamat :
10. Hisab ke atasnya menjadi sangat berat.
11. Allah S.W.T sangat murka kepadanya.
12. Allah S.W.T akan menyiksanya dengan api neraka.

10 Jenis Sholat Yang Tidak Diterima Oleh Allah SWT

asulullah S.A.W. telah bersabda: "Barangsiapa yang memelihara sholat, maka sholat itu sebagai cahaya baginya, petunjuk dan jalan selamat dan barangsiapa yang tidak memelihara sholat, maka sesungguhnya sholat itu tidak menjadi cahaya, dan tidak juga menjadi petunjuk dan jalan selamat baginya." (Tabyinul Mahaarim)

Rasulullah S.A.W telah bersabda bahwa : "10 orang sholatnya tidak diterima oleh Allah S.W.T, yaitu :
1. Lelaki yang sholat sendirian tanpa membaca sesuatu.
2. Lelaki yang mengerjakan sholat tetapi tidak mengeluarkan zakat.
3.Lelaki yang menjadi imam, padahal orang yang menjadi makmum membencinya.
4. Lelaki yang melarikan diri/buronan.
5. Lelaki yang minum arak tanpa mau meninggalkannya (tidak mau taubat).
6. Perempuan yang suaminya marah kepadanya.
7. Perempuan yang mengerjakan sholat tanpa memakai tudung.
8. Imam atau pemimpin yang sombong dan zalim.
9. Orang-orang yang suka makan riba.
10.Orang yang sholat tetapi tidak dapat menahannya dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar."

Sabda Rasulullah S.A.W: "Barang siapa yang sholatnya itu tidak dapat menahannya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar, maka sesungguhnya sholatnya itu hanya menambahkan kemurkaan Allah S.W.T dan jauh dari Allah."

Hassan r.a berkata : "Kalau sholat kamu itu tidak dapat menahan kamu dari melakukan perbuatan mungkar dan keji, maka sesungguhnya kamu dianggap orang yang tidak mengerjakan sholat. Dan pada hari kiamat nanti sholatmu itu akan dilemparkan semula ke arah mukamu seperti satu bungkusan kain tebal yang buruk."

Umar Bin Abdul Aziz


"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya." (Ali 'Imran: 159).

Dalam sejarah Islam jika dipelajari dan difahami saat kejatuhan ummat sesudah Khulafaurrasyidin, perpecahan di zaman 'Ustman ini adalah akibat masuknya anasir-anasir asing yaitu perbuatan dari bangsa Yahudi. Kemudian datang zaman Khawarij setelah terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, berpindah kepada zaman Umaiyah, yaitu dari memilih pemimpin berdasarkan kompetensi dengan musyawarah, kembali kepada system raja-raja (KKN), tidak dilaksanakan lagi sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah sesuai dengan ayat tersebut di atas.


Zaman pemerintahan Mu'awiyah merubah system musyawarah kepada system monarchi mengulang adat lama yang merupakan pusaka usang, bahkan sampai disuapnya para stafnya, dengan permintaan apabila dia mati, anaknya harus diangkat menjadi raja. Disinilah awal perubahan dan kehancuran ummat. Mu'awiyah mewariskan system yang tidak baik, karena sebelumnya memang ada niat untuk menjadi orang besar yang tumbuh dalam diri Mua'awiyah, yaitu Abu Sofyan. Namun demikian dalam dinasti Umaiyah ada meninggalkan kepada ummat Islam satu "Intan Berlian", yang tidak ada duanya didunia pada zaman itu. "Intan Berlian" itu terletak dalam diri Umar Bin Abdul Aziz.

Dialah seorang Pemuda yang sangat tampan & elok rupawan. Kalau dia berjalan dari jarak yang 25 meter dibelakangnya, semerbak wangi minyak atar yang dipakainya tercium oleh orang lain. Kalau ia menzahar dalam shalat Maghrib, Isya dan Shubuh, sungguh sangat merdu suaranya. Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat dengan tiba-tiba sebagai seorang Khalifah, hanya karena sebuah surat wasiat dari Raja yang wafat, Maka setelah dibacakan surat wasiat itu dari almarhum Raja, beliau naik ke atas mimbar untuk berpidato mengenai pengangkatannya sebagai Khalifah, isi pidato beliau : ”Saya terima pengangkatan ini, tetapi saya diangkat karena wasiat dari almarhum raja, sekarang surat wasiat ini sudah ada ditangan saya, maka surat wasiat akan saya lempar untuk saya lepas, maka saat ini saya bukan lagi sebagai seorang Amirulmu'minin hasil pengangkatan dengan surat wasiat raja yang telah wafat, karena surat wasiat itu tidak ada lagi pada saya, untuk itu mulai sekarang, carilah seorang pemimpin yang saudara-saudara kehendaki. Jalankanlah musyawarah!”.

Ulama yang hadir, seluruhnya berbicara dengan perasaan penuh pengertian, mereka berkata:

"Kita dibawa kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. Dengan segera berlangsunglah musyawarah, tetapi tidak ada orang yang pantas untuk dipilih, kecuali hanya Umar bin Abdul Aziz. Musyawarah telah menetapkan beliau untuk menjadi Khalifah (orang nomor 1). Maka ketika dia menerima jabatan Khalifah itu, badannya gemetar seakan-akan merupakan orang yang sedang memikul beban yang berat, tidak ada perasaan gembira sedikitpun di wajahnya pada saat dia naik ke atas mimbar untuk kedua kalinya.

Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata: "Kemalanganku sebagai orang lemah adalah diserahi amanah sebagai beban yang berat, tetapi saya tidak sanggup menolak lagi, karena saudara-saudara telah menjalankan perintah Ilahi. Kalau saya tolak, berarti saya telah melawan perintah Ilahi dan Sunnah Rasulullah, sekarang amanah ini saya terima dengan ikhlas".

Kemudian dia sampaikan seruan dan perintah: "Supaya saudara-saudara ingat, tidak ada sandaran hidup, kecuali hanyalah taqwa"!.

Tiga kali dia berulang-ulang berbicara dalam kata yang agak panjang tapi isinya hanya taqwa, lain tidak ada!. Kemudian dia turun dari mimbar dan para musyawirin langsung bubar.

Di depan mesjid dia ditunggu oleh "Kereta Kerajaan" bersama saisnya. Khalifah dipersilahkan naik oleh sais kereta tsb. Umar bin Abdul aziz bertanya: Kereta apa ini?. Oleh para penjilat dikatakan : "Inilah kereta kebesaran Kerajaan". Kereta ini membawa setiap Raja yang baru diangkat, dan dibawa dengan kereta ini ke Istana.

Kata Khalifah: "Pulanglah ke Istana, saya akan berjalan kaki bersama orang banyak"!. Para penjilat mati kutu. Di tengah perjalanan, dia menjadi perhatian rakyat dengan penuh tanda tanya, tetapi mereka jawab sendiri.

Tak ada kebesaran yang ditonjolkan, cintanya adalah cinta kepada ummat, bukanlah cinta kepada kebesaran. Inilah perasaan yang tumbuh didalam hati rakyat. Setelah tiba di istana, dia memerintahkan menjual perabot Istana, yang tidak bermanfaat. Uang hasil penjualan itu dimasukkannya ke Baitul Mal, setelah itu, Khalifah termenung dan berfikir, tiba-tiba anaknya datang, dan anaknya bertanya: ”Kenapa ayah termenung?”.

Jawabnya: ”Ayah memikirkan tugas yang akan dijalankan”.

Anak : ”Apa Ayah masih sempat berfikir?”

Khalifah : "Itulah tumpukan harta yang diambil dengan cara sewenang-wenang oleh Raja yang lalu, apakah itu bukan tugas yang wajib Ayah lakukan?. Mari wahai anakku!”

Diciumnya kening anaknya, kemudian anaknya diperintah agar memanggil orang-orang yang telah teraniaya di zaman Raja yang lalu. Ayahnya sendiri mendapat bagian tanah dari rampasan tanah rakyat yang diterima dari Raja yang telah meninggal itu. Tanah itu dikembalikan kepada yang berhak, dia mohon dimaafkan dari hasil tanah tsb. yang telah termakan oleh keluarganya. Si pemilik tanahpun memaafkannya. Liontin yang sedang dipakai oleh istrinya, diperintahkan supaya dibuka untuk disimpan di Baitul Mal. Itulah kekuatan yang tumbuh ke bawah, yang merupakan pancaran kebaikan seorang Khalifah yang memimpin dengan jujur dan adil, dan dalam Kekhalifahan Umar bin Abdul Azis yang sangat singkat karena hanya 2 tahun telah mengalami zaman keemasan, rakyat merasakan keadilan, bebas mengeluarkan pendapat, makmur, gemah ripah, bebas dari kemiskinan.

Inilah rahasia pemimpin! Diantara segala rahasia seorang pemimpin yang baik itu, terletak dibadannya dan terpancar diwajahnya. Oleh karena itu siapa saja yang diserahi sebagai pemimpin, terlebih dahulu wajib menyelesaikan persoalan dalam dirinya, memperbaiki sikap hidupnya, dan segera memperbaiki dirinya.

Thursday, November 24, 2005

Tanjung Pinang, Jadi Kota Wisata Maksiat?

Tanjung Pinang, kota yang bakal menjadi ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, dewasa ini selalu marak dikunjungi wisatawan mancanegara setiap tahunnya. Wisman yang menjadi pelanggan tetap wilayah ini rata-rata berasal dari negeri tetangga, Malaysia dan Singapura. Bagi wisman yang berwarna kulit sama dan masih satu bangsa dengan Indonesia ini, berada di Tanjung Pinang berarti sebuah kebebasan barang sejenak lari dari segala aturan yang mengikat di negara asalnya.

"Di sini mereka bebas meludah dan buang sampah di sembarang tempat, merokok tanpa takut-takut atau harus cari-cari tempat tersembunyi. Di tempat yang dekat dalam jangkauan dan tanpa banyak biaya, mereka melepas ketegangan bebas dari aturan," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tanjung Pinang Said Parman, Senin (7/3).

Wisatawan asal Singapura dan Malaysia banyak berdatangan pada akhir pekan, antara Jumat sore hingga Minggu sore. Mereka memadati hotel- hotel sederhana hingga mewah. Perjudian dan daya tarik perempuan dikabarkan menjadi sajian utama, meski Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tidak eksplisit mengakuinya.

Menuju Tanjung Pinang dari dua negara itu amat mudah dan murah, tinggal memakai kapal- kapal feri saja. Kenyamanan kapal penumpang ber-AC ini cukup menyejukkan untuk sekitar satu jam perjalanan antara Singapura menuju Tanjung Pinang. Jarak yang kurang lebih sama antara Johor-Tanjung Pinang. Untuk biaya perjalanan, dibutuhkan ongkos Rp 140.000 pergi-pulang. Mereka hanya perlu paspor untuk memasuki Tanjung Pinang tanpa harus mengurus visa.

Kasat mata, selain bersenang-senang di hotel dan sejumlah tempat hiburan, mereka biasanya menyerbu pusat-pusat makanan. Kawasan yang selalu ramai dipadati pengunjung adalah bursa makanan Akau di kawasan Potong Lembu, Kota Tanjung Pinang.

Penggerak ekonomi

Dijelaskan, kedatangan para wisman ini memang memberikan keuntungan bagi pemerintah setempat. Mereka adalah sumber pendapatan, tak hanya dari pungutan pajak tetapi juga menjadi salah satu faktor penting penggerak perekonomian rakyat. Namun, Said mengakui bahwa Tanjung Pinang hanya sebagai tempat untuk berbebas-bebas tidak selayaknya terus dipertahankan sebagai image daerah.

Daya tarik berupa "kebebasan" memang menjadi faktor penentu ramainya wisman mengunjungi Tanjung Pinang. Namun jika kemudian di tempat lain juga dapat ditemukan hal yang sama, bukan tidak mungkin kota pulau ini akan ditinggalkan. Hal ini mengemuka berdasarkan pengamatan perkembangan wisata sejenis di Kepulauan Riau, seperti di Kota Batam, Karimun, dan beberapa kota pulau lainnya.

Di samping itu, Said mencontohkan, jika terjadi sedikit ketegangan saja antara Pemerintah Indonesia dan dua negara tetangga tersebut, jumlah wisman yang datang langsung menyusut. Mereka ketakutan ada ancaman terhadap keselamatan diri dan acara bersenang-senang akan terusik dengan razia maupun penertiban dari pemerintah setempat.

Saat isu tentang pemberantasan tenaga kerja ilegal bergaung keras seperti sekarang ini, wisman pun jarang ditemui di Tanjung Pinang. Menurut data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Tanjung Pinang, bulan Januari lalu turis asing yang datang ke tempat ini hanya 10.205. Padahal bulan yang sama tahun lalu, kedatangan turis asing mencapai 17.872.

Keamanan dalam negeri yang sering terguncang beberapa tahun terakhir juga memengaruhi tingkat kunjungan wisatawan asing ke Tanjung Pinang. Dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan wisman sekitar 20 persen hingga 30 persen. Terakhir tahun 2004 lalu, terdapat 174.038 wisatawan atau menurun sekitar 30.000-an wisatawan dari tahun sebelumnya.

Banyak potensi

Tanjung Pinang hanya sebagai tempat bersenang-senang tanpa ada sisi lain yang lebih menonjol, memang terasa ironis sekali. Padahal, kota pulau ini seperti disaksikan Kompas, memiliki banyak potensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. Keelokan alamnya yang merupakan pulau tersendiri dan dikelilingi pulau-pulau kecil lainnya merupakan salah satu daya tarik yang sama sekali belum terasah. Jalanan di sepanjang kota berkelok mengikuti alur pulau yang berbukit- bukit, sementara di sisi yang lain laut biru kehijauan terpampang luas memikat hati.

Di sisi lain, Tanjung Pinang berdekatan dengan Pulau Penyengat yang disebut sebagai Bunda Budaya Melayu. Perpaduan alam dan kekayaan budaya Melayu inilah yang sebenarnya mampu menjadi identitas Tanjung Pinang. Identitas yang menjadi kebanggaan daerah sekaligus sebagai daya tarik wisata yang mampu bersaing dengan daerah lain.

"Masyarakat kita sendiri sudah tidak kenal lagi budaya Melayu. Dari bahasanya saja, generasi muda Tanjung Pinang tak lagi kental logat Melayunya. Pakaian, agama, dan apalagi budaya. Mungkin bagi yang pertama kali ke sini akan terkejut melihat gaya-gaya anak muda yang tak kalah dengan sebayanya di Jakarta sana," kata Raja Malik Hasrizal, seorang pemerhati budaya Melayu yang menetap di Pulau Penyengat.

Pulau Penyengat menjadi pusat kerajaan Riau Lingga pada abad ke-19. kekuasaannya meliputi sebagian Malaka, Singapura, dan seluruh Riau wilayah daratan, serta kepulauan.

Menurut Raja Malik, tahun 1880-an di pulau ini didirikan Rusydiah Club, yaitu perkumpulan cendekiawan dari seluruh Riau. Mereka menjadi pemantau pergerakan politik dan juga menghasilkan karya-karya sastra maupun kebudayaan lainnya. Salah satu pujangga yang terkenal adalah Raja Ali Haji dengan karya Gurindam XII.

Tahun 1911, para cendekiawan dan pejabat kerajaan tercerai-berai meninggalkan Penyengat. Mereka tidak mau tunduk kepada penjajah, dan memilih pergi. Dua tahun kemudian, Belanda menghapus Kerajaan Riau Lingga dari segala urusan administrasi pemerintahannya. Sejak itu, Pulau Penyengat kian terasing dan budaya Melayu pun putus perkembangannya.

Ditegaskannya, kondisi Tanjung Pinang saat ini adalah sebuah penurunan moral yang sangat tajam. Bobroknya moral akibat terkikisnya budaya menyebabkan masyarakat hancur.

Raja Malik mewakili masyarakat setempat mengungkapkan perlunya pemerintah mengatasi permasalahan ini. "Jangan sampai budaya kita musnah, padahal penerusnya sebenarnya masih ada," katanya. (Kompas Cyber Media, 8 Maret 2005)

SBY Termakan Mitos

Barangkali, sejak Indonesia merdeka, tak ada presiden yang posisinya sekuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dialah satu-satunya presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Dengan kondisi tersebut SBY sebenarnya mempunyai ''kekuasaan'' yang besar dan utuh untuk berbuat banyak demi kepentingan rakyat. Tapi apa kenyataannya? Di masyarakat timbul kesan bahwa SBY adalah presiden yang ragu-ragu, sulit mengambil keputusan, dan takut terhadap ''orang-orang'' Senayan. Yang terakhir ini (orang-orang Senayan) terkesan telah ''menyandera'' SBY agar mengikuti kemauannya. Akibatnya, SBY tak bisa berbuat banyak untuk mencari ''pembantu-pembantu''-nya.

Partai-partai politik yang besar dan kuat merasa berhak mendikte SBY untuk menentukan kabinetnya. Kekuatan SBY sebagai presiden pilihan rakyat benar-benar digerogoti partai, dan tragisnya SBY membiarkannya. Padahal, kalau SBY mau, dia bisa menggunakan hak-hak prerogatifnya dengan mengabaikan kemauan orang-orang parpol di Senayan. Ini karena di belakang SBY --rakyat yang memilihnya, 60 persen lebih dari suara pemilih Indonesia-- jauh lebih kuat ketimbang mereka yang ada di Senayan.

Itulah gambaran sepintas dilema SBY. Alih-alih SBY menggunakan kekuatannya untuk menentukan kabinet, yang terjadi SBY ''tengok sana sini'' minta persetujuan parpol dalam memilih para menterinya. Kondisi semacam itu jelas menyimpang --bahkan bertentangan-- dengan hakikat kabinet sistem presidensil yang dianut Indonesia. Karena itu, SBY sebaiknya memilih menteri-menterinya secara mandiri, tak perlu lobi sana-sini dengan tokoh-tokoh parpol. Sebaliknya, tokoh-tokoh parpol juga harus legowo dan tidak mengintervensi SBY dalam penentuan menteri-menteri kabinetnya. Biarkan presiden yang dipilih rakyat menentukan langkah-langkah terbaiknya untuk menjalankan roda pemerintahan.

Menghilangkan mitos
Di zaman Orde Baru, meski presiden tidak dipilih rakyat, tapi dia mampu memanfaatkan kekuasaannya --terutama untuk menyusun kabinet tanpa intervensi parpol. Suharto, misalnya, dalam beberapa periode pemerintahannya, mampu menyusun kabinet yang terbebas dari intervensi parpol. Suharto dikenal pandai memilih para pembantunya, yang sebagian besar para teknokrat dan ilmuwan. Suharto benar-benar mampu memanfaatkan pemerintahan ''sistem presidensil'', dan karenanya dia punya posisi yang kuat.

Ironisnya, setelah era reformasi --di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat-- SBY justru ''sungkan'' memanfaatkan pembentukan kabinet dengan pola-pola pemerintahan sistem presidensil. Sebaliknya, SBY malah terjebak pada pola-pola pembentukan kabinet sistem parlementer. SBY telah termakan mitos yang dihembuskan tokoh-tokoh parpol bahwa tanpa persetujuan partai dalam menyusun kabinet, maka roda pemerintahan akan terseok-seok. Celakanya, mitos itu termakan SBY mentah-mentah.

Mengapa hal itu terjadi? Orang menduga bahwa hal itu menunjukkan ''kelemahan'' kepemimpinan SBY. Banyak pihak menyayangkan sikap SBY yang ''terlalu baik'' kepada parpol sehingga melupakan hakikat pemerintahannya yang presidensil. SBY tampaknya ingin menjadi ''figur kesayangan semua orang'' sehingga dia harus menjaga citranya sebagai tokoh yang tidak mau konflik dan selalu mengetengahkan musyawarah.

Kondisi tersebut oke-oke saja jika negara dalam keadaan normal. Tapi kalau melihat Indonesia yang berada dalam kondisi ''SOS'' secara ekonomi dan sosial seperti sekarang, apakah gaya kepemimpinan yang ingin menyenangkan semua orang itu cukup efektif?

Di situlah ujian untuk pemimpin besar. Seorang pemimpin besar harus berani menentukan kebijakan yang kontroversial sekalipun, asalkan menurut keyakinan dan perhitungannya benar. Lepas dari benar dan salahnya dalam menentukan kebijakan, Suharto dan Sukarno harus diakui sebagai pemimpin besar karena keduanya bisa memutuskan kebijakan berdasarkan hati nuraninya meski kemudian kebijakan itu kontroversial.

Sukarno pernah melawan Amerika dan Suharto pernah melawan IGGI. Tapi, bagaimana SBY? Hanya menghadapi tokoh-tokoh parpol yang ingin kepentingannya dipenuhi, tampaknya dia grogi. Apalagi mau melawan Amerika dan negara-negara donor yang suka mendiktenya. SBY tampaknya ingin tetap menjaga citra baiknya di mata negara-negara donor di satu sisi, tapi di sisi lain, dia juga ingin tetap menjaga citra baiknya di kalangan politisi Senayan dan menjaga citra baiknya di mata rakyat.

Keinginan menjadi ''anak manis'' dari semua orang inilah yang menyebabkan SBY terjebak pada ''putaran'' yang tak tentu arahnya. Dia ingin berbaikan dengan negara-negara donor dengan mengikuti sarannya --antara lain-- memangkas subsidi harga BBM (baca: agar Indonesia bisa membayar utang kepada negara-negara donor).

Untuk menjaga citranya di mata Senayan, SBY pun minta persetujuan DPR agar seakan-akan keputusan menaikkan harga BBM sepenuhnya ditentukan secara demokratis. Uniknya, ketika merasa kebijakan pangkas subsidi BBM itu akan menyengsarakan rakyat, SBY pun ''bagi-bagi uang'' kepada rakyat miskin dengan mengusung program bantuan langsung tunai (BLT). Uang ini untuk mengompensasi kenaikan harga BBM. Dengan demikian citra SBY yang menyayangi rakyat kecil tetap terpelihara.

Sayangnya, upaya untuk tampil sebagai ''anak manis'' tersebut gagal total. SBY justru mendapat kecaman rakyat dan DPR. SBY lupa bahwa persetujuan di DPR (untuk membuktikan bahwa dia seorang demokrat sejati) didapat lewat voting yang menyakitkan. Sementara di mata rakyat, bagi-bagi uang Rp 100 ribu er bulan itu ternyata tak imbang dengan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup setelah dicabutnya subsidi harga BBM. Kini, yang memuji SBY hanyalah negara-negara donor melalui koran-koran yang terbit di New York, London, atau Tokyo. Di dalam negeri, yang terjadi sebaliknya.

Kalau mau jujur, kita tanya kepada SBY: pilih mana, dipuja oleh orang asing tapi dibenci rakyat sendiri, atau dibenci orang asing tapi dipuja rakyat? Mestinya SBY sebagai presiden pilihan rakyat, harus bersikap pro-rakyat. Bukan pro-asing!

Wakaf menteri
Saat ini, SBY kembali dihadapkan pada dilema dalam perombakan kabinet akibat mitos-mitos yang dipercayainya tentang peran parpol. Tragisnya lagi, dalam kondisi yang carut marut itu, beban SBY bertambah berat karena adanya manuver-manuver para politisi yang tak punya visi selain kecenderungan ego kekuasaannya.

Ada parpol yang saat ini kasak-kusuk ingin mendapat jatah menteri separuh dari jumlah kabinet karena merasa dia partai terbesar di DPR. Ada tokoh parpol yang minta SBY mencopot menteri-menteri dari partainya karena dinilai mereka tidak punya kontribusi terhadap partai selama berada di kabinet. Ada pula parpol yang menyorong-nyorongkan kadernya agar dipilih SBY untuk duduk di kabinet, padahal sang kader tidak berkualitas. Ada lagi yang mengancam akan mencabut dukungan terhadap SBY jika kader-kadernya di kabinet dicopot.

Fenomena tersebut sangat memalukan dalam hidup bernegara. Mestinya, partai tidak perlu minta jatah sekian menteri dan menyodor-nyodorkan kadernya untuk duduk di kabinet. Biarkan SBY memilih orang-orang terbaik untuk kabinetnya, dari mana pun asal mereka. Kader partai yang kebetulan dipilih SBY untuk duduk di kabinet pun, sebaiknya menetralkan diri dari kepentingan partai. Lalu, partai hendaknya mewakafkan kadernya yang terpilih jadi menteri secara sadar dan ikhlas utuk kepentingan negara. (Oleh Eggi Sudjana, Mantan Presiden Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, www.Republika.co.id).

Pulau Penyengat Nan Bersejarah


Pada awal abad ke-19, saat belahan bumi Nusantara yang lain masih belum mengerti aksara, pulau yang hanya seluas 240 hektar itu telah memiliki percetakan dan menerbitkan ratusan buku ilmiah dan keagamaan. Buku-buku yang ditulis di antaranya tentang perbintangan, obat-obatan, agama, dan tentang seks.

Itulah Pulau Penyengat, sebuah pulau kecil di Kepulauan Riau, yang pernah menjadi taman bagi para pujangga Melayu. Salah seorang penulis besar yang lahir dan berkarya di pulau itu adalah Raja Ali Haji (1809-1873).
Di Pulau Penyengat, sang Pujangga Kerajaan Riau-Lingga itu menemukan taman yang nyaman untuk berkarya sehingga melahirkan karya-karya besar yang sangat variatif, mulai dari karya sastra, keagamaan, filsafat, pemerintahan, sampai kebahasaan. Karya sastranya di antaranya Syair Siti Shianah, Syair Awai, dan Gurindam Dua Belas.

Karya Raja Ali Haji tentang Silsilah Melayu dan Bugis dan Tuhfat al-Nafis telah menempatkannya sebagai seorang sejarawan penting Melayu. Dalam kedua buku itu, sejarah Kerajaan Melayu diuraikannya secara gamblang.
Sebagai bahasawan, Raja Ali Haji telah melahirkan karya Bustan al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa. Kedua karya ini dinilai sebagai karya tulis yang pertama kali menjelaskan secara ilmiah tata bahasa Melayu sehingga menempatkan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara.

Sedangkan sebagai ulama Islam dan filosof, Raja Ali Haji bisa terbaca dari hampir semua karyanya yang selalu menempatkan ajaran dan pemikiran Islam sebagai rujukan utama. Atas jasa-jasanya bagi Melayu dan bangsa Indonesia, Raja Ali Haji akhirnya dinobatkan sebagai pahlawan nasional.

Kebesaran Pulau Penyengat sebagai taman para pujangga bukanlah karena ketokohan satu orang. Rakyat jelata, termasuk kaum perempuan, juga menerbitkan aneka tulisan. Misalnya, buku Perkawinan Penduduk Penyengat dikarang oleh seorang nelayan bernama Encik Abdullah pada tahun 1902. Pengarang dari kalangan rakyat jelata yang juga produktif, seorang perempuan bernama Khatijah Terung dengan salah satu karyanya berjudul Kumpulan Gunawan, menceritakan tentang hubungan seksual suami istri.

Kondusifnya iklim penulisan di Pulau Penyengat agaknya didorong oleh adanya percetakan, yaitu Mathba’atul Riauwiyah, yang telah beroperasi sejak tahun 1890-an. Pada era itu kesadaran intelektual penghuni pulau tersebut telah terorganisasi. Para intelektual, baik dari kalangan ningrat maupun rakyat jelata, telah mendirikan perkumpulan bernama Rusydiah Club.

Selain terkenal dengan kegiatan intelektualnya, pada masa lalu Pulau Penyengat juga terkenal sebagai basis perjuangan menentang penjajah. Selama berkecamuk peperangan antara Kerajaan Riau dan Belanda (1782-1794 M), Pulau Penyengat dijadikan kubu penting. Pada tahun 1900 Abdurrahman Muazamsah, Sultan Riau-Lingga yang terakhir, akhirnya tinggal di Pulau Penyengat. Pada masa itu kehidupan intelektual di Pulau Penyengat semakin tumbuh subur. Berbagai bangunan pemerintahan dan keagamaan didirikan.

Namun, saat mengelilingi Pulau Penyengat kini, kejayaan masa silam itu hanya bisa terlukiskan samar-samar. Bekas percetakan Mathba’atul Riauwiyah dan gedung Rusydiah Club hanya tersisa fondasi yang telah dipenuhi semak belukar. Bahkan, istana Abdurrahman Muazamsah hampir tak ada lagi bekas-bekasnya. Di Balai Maklumat Pulau Penyengat, 250 naskah karya putra dan putri Pulau Penyengat ratusan tahun lalu itu masih tersimpan rapi. "Tetapi, kehidupan intelektual di Pulau Penyengat kini telah mati. Tak ada lagi karya baru yang lahir di pulau ini," kata Raja Malik, pengelola Balai Maklumat yang masih keturunan Raja Ali Haji.
Menurut Raja Malik, kemandekan intelektual di Pulau Penyengat sebenarnya terjadi setelah Sultan Abdurrahman Muazamsah meninggalkan Penyengat menuju Singapura tahun 911. Raja terakhir Kerajaan Riau-Lingga itu pergi karena tidak mau menandatangani kontrak politik yang disodorkan oleh Belanda. Kepergian sang raja diikuti oleh sebagian besar orang Penyengat, termasuk bangsawan dan pengarang.

Pada tahun 1930-an kehidupan intelektual di Pulau Penyengat mulai menggeliat lagi. Hal itu ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan agama Madrasatul Mualimin.
Namun, geliat kehidupan intelektual itu kembali terhenti setelah masuknya Jepang. Dan, semenjak kemerdekaan Republik Indonesia, nama Pulau Penyengat kian tenggelam.
"Sastrawan-sastrawan besar dari Kepulauan Riau, seperti Sutarji Cholzum Bachri, kebanyakan memilih keluar daerah kami karena memang di sini tidak prospektif untuk mengembangkan diri," kata Hoesnizar Hood, Ketua Dewan Kesenian Kepulauan Riau. Kini, kebesaran Pulau Penyengat sebagai taman para pujangga itu hanya tinggal cerita. (Ahmad Arif, Kompas, Januari 2005)